Sabtu, 07 Agustus 2010

Sebuah Catatan Dari Dusun Terpencil

Pondok Pesantren atau sering di singkat Ponpes adalah satu yang khas bagi dunia pendidikan di Indonesia. Keberadaannya menjadi entitas tersendiri yang tak bisa dilepas begitu saja dari pernik-pernik sejarah bangsa Indonesia. Seabrek sejarah Pondok Pesantren telah mengiringi bangsa ini menuju perkembangannya.

Tahun 1906 adalah menjadi titik awal keberadaan Pondok Pesantren, ini ditandai dengan mulai munculnya beberapa komunitas pelajar pedesaan yang masih terbilang primitif untuk ukuran saat ini. Komunitas ini pertama-tama diawali dan diadakan oleh Ulama-ulama penyebar Islam Pertama yaitu Walisongo (Wali Sembilan) yang bergerak di wilayah Jawa. Mereka memberikan pencerahan keagamaan berupa mengaji Al-qur’an dan Ushuluddin.

Cikal bakal lahirnya pesantren ini dapat kita lacak dalam lipatan-lipatan sejarah Islam Nusantara. Kita akan menemukan dalam sejarah-sejarah tersebut bahwa Peran Pondok Pesantren dalam membangun masyarakat Indonesia disektor bertata negara dan pendidikan sangatlah besar.

Hal ini dapat kita lihat pertama: melalui peran pesantren terutama di detik-detik bangsa ini akan merdeka pada tahun 1945. Sumbangsih sangat besar saat itu adalah berhasilnya pondok pesantren mengkonstruksi pemikiran Rakyat dengan Teologi perlawanan yang disisipi nilai-nilai Akidah. Slogan-slogan kecintaan terhadap negara seperti Hubbul Wathon Min Al-Iman adalah contoh yang sangat riil. Walaupun ini sekedar slogan namun telah mampu membangkitkan spirit perlawanan Rakyat kepada kolonial. Bagi beberapa pengamat slogan ini di Istilahkan sebagai orasi ala pesantren untuk membangunkan masyarakat dari tidur panjang setelah Kolonial Belanda dan Jepang Menindas bangsa ini berabad-abad.

Hingga saatnya pesantren mulai melakukan invansi wacana ke daerah-daerah substantif seperti pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Sehingga tak heran bangunan sistem pendidikan kita banyak dipengaruhi secara langsung oleh Pondok-pondok pesantren ini. Terbentuknya Depatemen Agama (Depag) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah beberapa embrio yang kini telah besar yang memfasilitasi proses pendidikan agama ala pesantren di negara ini.

Jika ditilik melalui kurikulum yang digunakan disekolah-sekolah secara umum dapat kita katakan berasal dan tercetus melalui pesantren-pesantren. Walaupun memang banyak juga yang berasal dari kolonial Belanda dalam misi politik etis saat itu. Namun basis-basis yang bisa kolonial raih berada di kota-kota saja tidak di desa.

Hanya saja realitas bahwa pesantren banyak menyumbang pembangunan pendidikan di Indonesia kerap tenggelam dan dilupakan. Entah karena kita memang betul-betul lupa atau pura-pura lupa. Ini mau tidak mau harus diungkapkan karena kondisi rata-rata dunia pondok pesantren di Indonesia hari ini terbilang kurang mendapat perhatian dari pemerintah baik pusat maupun daerah.

Sebutlah soal pendanaan di pesantren-pesantren yang jika dihitung sekitar 99,9 Persen berasal dari masyarakat. Padahal kita tahu bahwa sejak tahun 2004 lalu, anggaran untuk pendidikan di Indonesia oleh pemerintah telah di alokasikan 25% yang diambil melalui Anggaran Pendapatan Biaya Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Biaya Daerah (APBD). Perhatian pemerintah ini tentu kita pertanyakan sebab, alokasi dana tersebut terkesan hanya berlaku bagi lembaga-lembaga pendidikan negeri saja.

Dengan kondisi ini, maka pesantren-pesantren di Indonesia mayoritas kelimpungan mengatasi internnya sendiri seperti soal substansi pendanaan. Lain sekali dengan lembaga pendidikan negeri yang secara rutin menerima dana, pengembangan infrastruktur dan lain-lain. Seorang Kiyai atau Tuan Guru sebagai representasi pesantren mau tidak mau harus berjuang sendiri mengembangkan pesantrennya dengan kemampuan yang tentu saja sangat terbatas. Syukur kemudian jika seorang kiyai atau Tuan guru tersebut mempunyai kekayaan dimana dirinya mampu menjalankan program-program pesantrennya melalui Koperasi dan usaha-usaha lain.

Satu yang menjadi titik lemah Kiyai atau Tuan Guru, bahwa karena mereka bukan insan birokrasi yang pintar melakukan negosiasi dan lobi. Mereka tidak bisa menyentuh struktural negara, sehingga mereka hanya terputus pada garis bawah masyarakat yang notabene ummatnya saja.

Menjadi dilematis kemudian bagi pengelola Pondok Pesantren, disatu sisi kepeduliannya terhadap pendidikan di Indonesia besar tapi terbentur pada persoalan dana. Sementara masyarakat menuntut pesantren tetap hidup agar mereka bisa mendidik anak-anaknya di komunitas yang agamis dan terikat oleh norma-norma agama. Sangat ironis, ketika kita melihat bahwa pesantren adalah tempat tertampungnya masyarakat Indonesia yang bergaris ekonomi dibawah rata-rata (miskin). Pesantren bukan berisi anak pejabat, anak bisnisman atau anak artis. Tapi dipesantren sekolah anak petani, nelayan, pedagang kecil, buruh dan lain-lain yang notabene semuanya miskin.

Beberapa pesantren bahkan membuka lembaga pendidikan yang khusus menampung anak-anak jalanan dan anak yatim yang kita kenal denga Panti Asuhan. Disana proses pendidikan yang diberi kepada anak-anak tersebut semuanya serba gratis. Mulai dari penginapan, makan, serta semua fasilitas madrasah. Darimana pesantren akan mendapatkan dana?

Disaat pendidikan Indonesia dinilai paling terpuruk di Dunia, dengan tingkat masyarakat tidak terdidik sekitar 70%, Sungguh ini sumbangsih yang sangat luar biasa dari pondok pesantren. Boleh kita mengadakan hitung-hitungan, berapa besar masyarakat bawah (Grass Knot) yang tertampung menjalani pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan negeri? Kemudian bandingkan dengan berapa banyak anak Indonesia yang bisa ditampung di pesantren? Kita akan menemukan angka yang sangat fantastis manakala pesantren ternyata telah amat besar menyumbang perkembangan negara dan memelihara proses pendidikan rakyat. Dapat kita bayangkan dengan pernyataan jika pesantren tidak ada atau tidak eksis maka, berapa banyak anak-anak Indonesia yang tidak sekolah? berapa banyak yang akan mengalami gagal didik? Berapa dari anak-anak yatim yang akan terlantar dan menjadi bodoh dan tertindas? Hal ini harus di korelasikan dengan kondisi pendidikan kita di Indonesia yang mahal.

Keberadaan pondok pesantren Sirajul-Huda Paok Dandak Desa Durian Kecamatan Janapria Kabupaten Lombok Tengah Propinsi Nusa Tenggara Barat juga demikian. Kondisi sosial mayarakat yang mayoritas miskin didaerah itu sangat terbantu oleh keberadaan pesantren ini. Sejak pendiriannya ditahun 1982 hingga kini sudah sekitar 1000 pelajar dan santri telah diluluskan dan kini tersebar di berbagai Instansi baik swasta maupun pemerintah. Terdapat juga yang hanya mampu mengeksiskan dirinya ditengah masyarakat seperti menjadi khotib jum’at, menjadi penghulu dan lainnya.

Terlepas dari itu semua Pondok Pesantren Sirajul-Huda adalah aset bangsa yang harus diberdayakan karena kita harus mengakui bahwa kemampuan pemerintah untuk menjamin pendidikan bagi anak-anak negeri ini tak langsung dapat diaplikasikan begitu saja semudah membalik telapak tangan. Pemerintah juga sangat terbatas dalam menganggarkan pendidikan untuk anak-anak Indonesia terutama pesantren.

Inilah peran besar lagi penting dari keberadaan pesantren ini. Oleh karenannya bagi semua pihak kami harapkan untuk turut berpartisipasi dalam penegembangannya. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya personal ataupun institusional berniat tulus ikhlas membangun pendidikan Indonesia yang bekualitas dan berakhlak mulai dan tentu saja dimulai dari basis-basis pesantren seperti PondokPesantren Sirajul-Huda Paok Dandak ini.[]

0 komentar:

Posting Komentar